Hai Guys ...!!
don't worry be happy yaaaaaa :D

Kamis, 11 Mei 2017

Proses Fermentasi Roti

Fermentasi ditujukan untuk memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolismenya dalam makanan. Jenis mikroorganisme yang digunakan terbatas dan disesuaikan dengan produk akhir yang dikehendaki. Zat gizi lain juga dipecah menghasilkan CO2 dan lain-lain. Hasil fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroorganisme, dan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan prinsip fermentasi, yaitu mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme pembentuk alkohol dan asam serta menekan pertumbuhan mikroorganisme proteolitik (pemecah protein) dan mikroorganisme lipolitik (pemecah lemak). Sehingga di dapatkan keuntungan dan kerugian pada proses fermentasi roti, diantaranya :
  1. Beberapa hasil fermentasi (asam dan alkohol) dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme beracun contoh Clostridium botulinum (pH 4,6 tidak dapat tumbuh dan tidak membentuk toksin).
  2. Mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari nilai gizi bahan asalnya (mikroorganisme bersifat katabolik, memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga mudah dicerna dan mensintesis vitamin kompleks dan faktor-faktor pertumbuhan badan lainnya, sebagai contoh vitamin B12, riboflavin, provitamin A).
  3. Dapat terjadi pemecahan bahan-bahan yang tidak dapat dicerna oleh enzim- enzim tertentu, contohnya selulosa dan hemiselulosa dipecah menjadi gula sederhana. Kerugian dari fermentasi di antaranya adalah dapat menyebabkan  keracunan karena toksin yang terbentuk, sebagai contoh tempe bongkrek dapat menghasilkan racun, demikian juga dengan oncom.
Dibawah ini terdapat beberapa cara fermentasi yang terjadi pada roti, diantaranya :
 
A. Resting time
Resting time adalah waktu istirahat sementara yang di berikan adonan agar adonan menjadi rileks dan memudahkan adonan untuk dapat ditangani pada tahap berikutnya. Resting time sebenarnya merupakan proses fermentasi tahap 1 yang terjadi dalam adonan sehingga perbedaan berbagai jenis sistem adonan terletak pada panjang – pendeknya proses resting time ini. Berikut di sajikan tabel perbedaan resting time untuk masing – masing metoda adonan. Tujuannya adalah Mengistirahatkan adonan mematangkan gluten, untuk menurunkan ekstensibilitas adonan, dan mengembangkan adonan sponge secara kimia alami agar terbentuk bau, rasa dan struktur adonan yang lunak. Setelah Resting Time selesai maka ada beberapa cara selanjutnya yang dapat dilakukan, diantaranya :
  • Pemotongan dan penimbangan adonan (Cutting and Dividing) Setelah adonan di istirahatkan kemudian di lanjutkan dengan proses pemotongan dan penimbangan sesuai ukuran adonan yang di kehendaki. Saat melakukan proses pemotongan dan penimbangan ini harus di lakukan secara cepat dikarenakan proses pengembangan adonan tetap berjalan. Tujuan pemotongan dan penimbangan adonan adalah untuk menghasilkan adonan yang seragam dengan ukuran dan berat yang sama, sehingga produk roti yang di hasilkan akan seragam.
  • Pembulatan (rounding) Rounding atau pembulatan adalah proses untuk membulatkan adonan baik dengan menggunakan tangan atau mesin. Tujuan utama rounding adalah membentuk lapisan adonan dengan ketebalan yang diinginkan serta membentuk permukaan kulit adonan (lapisan film) yang tipis tanpa robekan, sehingga membantu adonan dapat menangkap gas dan mengembang dengan baik.
B. Intermediate Proofing
Intermediate proofing merupakan proses istirahat sementara yang di berikan adonan yang telah mengalami pembulatan. Hal ini perlu di lakukan agar adonan yang mengalami penarikan saat pembulatan dapat rilex (istirahat) sehingga adonan tidak akan mudah robek saat proses pengerollan (degassing atau sheeting).
Waktu Intermediate proofing yang di butuhkan untuk mengistirahatkan adonan sementara antara 5 – 10 menit. Secara praktek di Industri bakery dengan kapasitas besar, intermediate proofing di lakukan selama proses pembulatan adonan yang dijalankan secara berurutan atau jika menggunakan sistem continous maka intermediate proofing di lakukan pada saat adonan berjalan di konveyor menuju proses moulding.
  • Pembentukan (Moulding) Proses pembentukan adonan (moulding) di mulai dengan proses sheeting atau degassing yang bertujuan untuk meratakan adonan agar gas yang terbentuk dalam adonan lebih rata dan seragam (uniform). Selanjutnya adonan akan mengalami proses penggulungan (curling) dan perekatan bagian bawah adonan (sealing). Dalam proses moulding di hindari adanya lubang udara yang terperangkap dalam adonan di akhir proses sealing. Mengingat udara yang terperangkap dalam proses moulding akan mengakibatkan terbentuknya lubang dalam pori-pori roti (crumb), sehingga pori-pori roti menjadi tidak rata (uneven crumb). Berikut ini adalah cara rounding dan Moulding yaitu : untuk membantu proses rounding dan moulding yang di lakukan secara manual (dengan menggunakan tangan ) dapat di lakukan dengan penambahan tepung sawur (dusting flour) dengan jumlah yang tidak berlebihan agar tidak terbentuk garisdan warna pori-pori yang tidak seragam.
  • Peletakan adonan dalam loyang (panning) Proses peletakan adonan dalam loyang di lakukan dengan memperhatikan posisi adonan yang terkunci (lapisan perekat adonan) harus berada pada bagian bawah. Hal ini dilakukan untuk mencegah lipatan perekat adonan terbuka pada saat final proofing dan pemanggangan (pengovenan). Pada proses panning , loyang harus di kondisikan agar roti mudah terlepas dari loyang setelah proses pemanggangan, dengan jalan memberikan oles loyang dan pemanasan . Menurut (Pyler, 1979) proses panning dapat di lakukan pada suhu loyang sekitar 32° C, dengan tujuan untuk membantu mempercepat final proofing dan memudahkan terlepasnya roti dari loyang setelah proses pemanggangan.
Beberapa hal penting lain yang berhubungan dengan proses panning adalah
sebagai berikut:
  1. Pilih oles loyang yang memiliki karakteristik angka smoke point yang tinggi sehingga akan mengurangi terbentuknya uap minyak yang akan terserap ke roti saat proses pemanggangan dan mencegah terbentuknya bau roti yang tidak diinginkan. 
  2. Pilih oles loyang yan tidak mengandung campuran lemak karena dapat mempercepat proses ketengikan dan bau tidak sedap pada roti akibat pengaruh panas yang terjadi pada proses pemanggangan. 
  3. Berat adonan yang akan di tempatkan dalam loyang sangat menentukan kualitas roti yang dihasilkan.
C. Final proofing
Final proofing atau fermentasi akhir merupakan proses pengembangan adonan hingga mencapai besar adonan yang optimal. Selain terjadinya kenaikan volume dalam proses final proofing juga dihasilkan ; alkohol,terjadi kenaikan suhu adonan (panas) dan pembentukan rasa. Secara komersial dalam proses produksi roti skala besar atau industri maka proses final proofing harus dilakukan secara terkontrol untuk menghasilkan roti dengan kualitas yang diinginkan. Ada 3 faktor mendasar yang mempengaruhi proses final proofing yaitu : suhu, kelembaban dan waktu.
 
1. Suhu, Kontrol suhu dalam proses final proofing berhubungan dengan kondisi suhu yang paling tepat untuk aktifitas yeast dalam menghasilkan gas CO. Ditinjau dari pengaruh suhu terhadap aktifitas yeast maka dapat dilihat pengaruh aktifitasnya sebagai berikut :
          Pengaruh temperatur terhadap aktifitas yeast / Temperatur / suhu Kondisi aktifitas yeast
          16 ° C – 22 ° C Aktivitas lambat
                 27 ° C        Aktivitas normal
          32 ° C – 38 ° C Aktitifitas tinggi
          58 ° C – 60 ° C Yeast mati
Secara umum kondisi temperatur terbaik untuk proses final proofing adalah suhu 35 ° C dengan kelembaban udara 85 % dan lama waktu antara 60 65 menit.
     
2. Kelembaban atau (Relative Humidity)
Kelembaban adalah tingkat kandungan uap air yang terkandung di dalam udara. Alat yang di gunakan untuk mengukur adalah hygrometer. Kelembaban udara akan memberikan pengaruh terhadap adonan menjadi lebih lentur sehingga dapat dengan mudah mengembang seiring jumlah gas CO2 yang di hasilkan oleh yeast selama proses final proofing berlangsung. Kelembaban udara yang di bentuk saat final proofing tergantung dari jenis adonan yang di buat. Kelembaban udara di bawah 75% harus dihindari agar tidak terbentuk
permukaan kulit adonan yang kering yang akan mempengaruhi pembentukan warna kulit saat proses pemangangan. Sedangkan apabila kelembaban udara di proofing terlalu tinggi dan berlebihan, maka akan terbentuk kondensasi air di atas permukaan adonan sehingga mengakibatkan terjadinya “blister” pada hasil akhir roti. Blister adalah bintik-bintik kecil gelembung udara yang terdapat di atas permukaan adonan dan akan menjadi titik-titik putih di atas permukaan roti setelah proses pemanggangan berakhir.
 
3. Waktu
Waktu merupakan faktor penting ketiga yang mempengaruhi dalam proses final proofing. Pada umumnya waktu optimum untuk final proofing terjadi pada range antara 55 – 65 menit. Namun berdasar praktek terbaik dalam industri roti, penentuan tinggi adonan untuk mencapai kondisi optimal pengembangan lebih di jadikan patokan dalam menentukan tahap akhir proses final proofing di banding dengan patokan waktu. Patokan waktu untuk mengakhiri proses final proofing hanya dapat dilakukan melalui proses eksperimen (uji coba) terhadap kondisi proofing yang terdapat dalam bakery tersebut. Berikut adalah cara melihat kondisi batas optimum final proofing dan ciri-ciri roti yang di hasilkan:
  • Adonan di katakan full proof apabila saat di tekan dengan jari pada permukaan adonan, maka bekas permukaan sudah tidak dapat kembali seperti kondisi semula. 
  • Adonan yang under proof akan menghasilkan roti dengan ciri-ciri : volume kecil, kulit roti agak keras , warna kulit agak kemerahan dan terkadang bagian sisi samping permukaan kulit terbuka. 
  • Adonan over proofing dapat di lihat dari hasil roti dengan kecenderungan warna kulit roti agak pucat, pori-pori kasar dan aroma berbau agak asam.

Sekilas GANDUM

Gandum (Triticum aestivum L) adalah salah satu serealia dari familia Graminac (Poaceae) merupakan salah satu bahan makanan pokok manusia selain beras. Gandum lebih popular dibandingkan bahan makanan lainnya sesama sereaha karena adanya keistimewaan kandungan gluten dan protein yang cukup tinggi pada biji gandum. Keistimewaan kandungan gluten dan protein yang cukup tinggi pada biji gandum. Gandum memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi diantaranya karbohidrat 60% - 80%, protein 6%- 17%, lemak  1.5%- 2.0%, mineral 1.5%- 2.0% dan sejumlah vitamin. Saat ini kurang lebih terdapat 30.000 varietas gandum telah dikembangkan, akan tetapi dari sejumlah banyak tanaman gandum tersebut pada dasarnya  tanaman gandum di bagi menjadi 2 tipe yaitu hard wheat yaitu dengan kandungan protein yang tinggi sekitar 11%-17%, disamping itu gandum jenis ini mempunyai kandungan gluten tinggi sehingga gandum jenis ini digunakan untuk pembuatan bread. Tipe kedua adalah soft wheat dengan kandungan protein berkisar 6% - 10% dan jenis ini akan menghasilkan tepung gandum dengan kadar gluten yang rendah. Gandum tipe kedua ini akan baik sekali untuk pembuatan roti kering. Disamping itu juga terdapat jenis Triticum durum dengan kandungan gluten yang cukup tinggi, namun jenis ini tidak baik untuk pembuatan baking dan jenis ini khusus untuk pembuatan macaroni, spaghetti dan semolina.  

Klasifikasi gandum secara deskriptif dapat juga didasarkan pada penanaman dan adaptasi tumbuhnya, yaitu spring wheat yaitu ditanam dan tumbuh pada saat musim spring dan winter wheat yang ditanam dan tumbuh pada kondisi winter. Tanaman gandum merupakan tanaman dari daerah beriklim sedang yang sebenarnya  padial dari Asia Barat. Untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik diperlukan kondisi ekologis berupa kisaran temperatur 10° C - 25° C, dengan curah hujan berkisar antara 350 mm - 1250 mm selama siklus hidupnya. Kemasaman tanah yang ideal untuk tanaman gandum adalah pH 6-8, dan tanaman ini tidak tahan pada tanah pH dibawah 5 yang kaya akan aluminium. Photoperiode tanaman gandum tergolong panjang, akan tetapi sekarang banyak dikembangkan gandum dengan syarat tumbuh dengan photoperiode 9 - 13 jam per hari. Daerah budidaya utama tanaman gandum terdapat dalam kawasan 300 600 LU dan 270 400 LS dengan ketinggian tempat mulai dekat permukaan laut sampai lebih dari 3.600 m dpl. Didasarkan dari syarat ekologis tersebut diatas maka beberapa wilayah di Indonesia dapat dikembangkan tanaman gandum. Berdasarkan dari karakteristik ekologis di atas maka tanaman gandum cocok dikembangkan di lndonesia pada daerah pegunungan di atas 100 m dpl dan penanaman idealnya dilakukan pada akhir penghujan atau awal kemarau dengan harapan panen akan dilakukan di musim kemarau. Yang perlu diingat bahwa tanaman gandum tidak tahan terhadap penggenangan tanah yang berlebihan serta tanaman ini pada saat fase generatif yaitu biji sudah masak fisiologi tanaman tidak boleh terkenan hujan. Bila kondisi biji masak fisiologis tercapai dan terjadi hujan maka biji tersebut mampu berkecambah di dalam malai.
 
Dari segi agronomis maka penanaman gandum di Indonesia belum diketahui banyak mulai dari zona agroklimat penanaman gandum, pengairan atau ketahanan terhadap stress air, kebutuhan pupuk atau nutrisi setiap wilayah di Indonesia, inang terhadap hama-penyakit tertentu bagi tanaman petani di sekitarnya. Walaupun sejak jaman Belanda hingga sekitar tahun 1980an Indonesia sudah mengenal budidaya gandum, namun hasil-hasil penelitian tentang gandum sebelum tahun 1980an, sampai sekarang tidak diketahui jelas. Oleh karena itu pengembangan gandum di Indonesia seakan-akan harus dimulai dari awal kembali.